Beranda | Artikel
Hijrah Hati dengan Menuju Allah
Kamis, 17 Oktober 2013

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim adalah yang membuat orang-orang muslim yang lain selamat dari lisan dan tangannya. Adapun orang yang berhijrah adalah orang yang hijrah meninggalkan larangan-larangan Allah” (HR. Bukhari)

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, di dalam hadits yang agung ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa hakikat keislaman itu diwujudkan dengan kepasrahan/istislam kepada Allah, menunaikan kewajiban kepada-Nya, serta menunaikan hak-hak sesama muslim. Selain itu, hadits ini menunjukkan bahwa terdapat hijrah yang hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim, yaitu hijrah meninggalkan dosa-dosa dan kemaksiatan. Kewajiban hijrah semacam ini tidak pernah gugur darinya dalam keadaan bagaimana pun (lihat Bahjah al Qulub al Abrar, oleh Syaikh As Sa’di)

Hijrah yang dimaksud di dalam hadits ini mencakup dua bagian. Pertama; hijrah secara batin, yaitu dengan meninggalkan bujukan-bujukan hawa nafsu yang menyeret kepada keburukan dan meninggalkan rayuan setan. Inilah yang disebut dengan istilah hijrah dengan hati. Adapun yang kedua ; hijrah secara lahiriyah yaitu dengan menyelamatkan agamanya dari terpaan fitnah-fitnah/kerusakan, kekacauan, dan kerancuan (lihat Fath al Bari, oleh Al Hafizh Ibnu Hajar)

Dengan demikian, hijrah kepada Allah maknanya adalah meninggalkan apa-apa yang dibenci Allah menuju apa-apa yang dicintai-Nya, yaitu meninggalkan kemaksiatan menuju ketaatan.

Al Firar ila Allah (Berlari Menuju Allah)

Meninggalkan apa-apa yang dibenci Allah kepada apa-apa yang dicintai-Nya itulah yang dikenal dengan istilah al firar ila Allah (berlari menuju Allah). Hal itu Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), “Maka berlarilah kalian menuju Allah” (QS. Adz Dzariyat : 50)

Hijrah kepada Allah ini mengandung sikap meninggalkan segala hal yang dibenci oleh Allah kemudian diikuti dengan melakukan apa saja yang dicintai dan diridhai-Nya. Pokok hijrah ini adalah rasa cinta dan benci di dalam hati. Dalam artian seorang yang berhijrah meninggalkan sesuatu (baca ; maksiat) kepada sesuatu yang lain (baca ; ketaatan) tentu saja karena apa yang dia tuju lebih dicintai daripada apa yang dia tinggalkan. Oleh sebab itulah dia lebih mengutamakan perkara yang lebih dicintainya daripada perkara-perkara lainnya (lihat Adh Dhau’ Al Munir ‘ala At Tafsir, oleh Imam Ibnul Qayyim)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, dari sini kita bisa memetik pelajaran bahwa hijrah dengan hati kepada Allah menuntut kita untuk memiliki kesadaran dan ilmu mengenai apa yang Allah benci dan apa yang Allah cintai. Karena hakikat hijrah ini adalah meninggalkan perkara yang dibenci-Nya menuju perkara yang dicintai-Nya. Perkara yang dibenci Allah itu meliputi syirik, kekafiran, kemunafikan, bid’ah, dan kemaksiatan. Adapun perkara yang dicintai Allah itu mencakup tauhid, keimanan, ikhlas, mengikuti tuntunan, dan melakukan ketaatan-ketaatan.

Menyelamatkan Diri Dari Adzab

Melakukan hal-hal yang Allah cintai dan menjauhi hal-hal yang Allah benci merupakan sarana untuk menyelamatkan diri dari adzab dan murka Allah. Hal ini merupakan buah dan faidah hijrah kepada Allah. Dengan melakukan ketaatan dan meninggalkan maksiat. Dengan iman dan ketakwaan, meninggalkan kekafiran dan kefajiran. Dengan ikhlas dan kesetiaan terhadap tuntunan dan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meninggalkan kemunafikan, riya’ serta ajaran-ajaran baru yang tidak dituntunkan.

Oleh sebab itu, sebagian ulama menafsirkan firman-Nya (yang artinya), “Maka berlarilah kalian kepada Allah” (QS. Adz Dzariyat : 50) dengan tafsiran yang artinya, “Selamatkanlah diri kalian dari adzab Allah menuju limpahan pahala, yaitu dengan iman dan ketaatan” (lihat Adh Dhau’ Al Munir ‘ala At Tafsir, oleh Imam Ibnul Qayyim)

Sebab utama yang akan membebaskan dari adzab Allah adalah tauhid dan keimanan seorang hamba. Dengan tauhid dan iman itulah dirinya akan selamat dari kekalnya siksa neraka. Berbeda halnya dengan orang kafir atau musyrik. Betapa pun banyak jasa dan kebaikan mereka kepada manusia, jika mereka kafir dan mempersekutukan Allah maka di akhirat mereka kekal dihukum di dalam neraka; sebagai balasan setimpal atas dosa, kezaliman, dan kejahatannya selama di dunia. Amalnya akan sirna dan sia-sia, terhapus dan hancur akibat syirik dan kekafiran mereka kepada Allah ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu penolong” (QS. Al Ma’idah : 72)

Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu, jika kamu berbuat syirik niscaya lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu termasuk golongan orang-orang yang merugi” (QS. Az Zumar : 65)

Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang kafir setelah beriman, maka lenyaplah amalannya dan di akhirat dia akan menjadi orang yang merugi” (QS. Al Maa-idah : 5)

Syirik Kezaliman Terbesar

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami dengan keterangan-keterangan yang jelas dan Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca agar umat manusia menegakkan keadilan” (QS. Al Hadid: 25)

Ibnul Qayyim berkata, “Allah Subhanahu mengabarkan bahwasanya Dia telah mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya supaya umat manusia menegakkan timbangan (al qisth) yaitu keadilan. Diantara bentuk keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok keadilan dan pilar penegaknya. Adapun syirik adalah kezaliman yang sangat besar. Sehingga, syirik merupakan tindak kezaliman yang paling zalim, dan tauhid merupakan bentuk keadilan yang paling adil.” (lihat Ad Daa’ wa Ad Dawaa’)

Beliau juga berkata, “Sesungguhnya orang musyrik adalah orang yang paling bodoh tentang Allah. Tatkala dia menjadikan makhluk sebagai sesembahan tandingan bagi-Nya. Itu merupakan puncak kebodohan terhadap-Nya, sebagaimana hal itu merupakan puncak kezaliman dirinya. Sebenarnya orang musyrik tidaklah menzalimi Rabbnya. Karena sesungguhnya yang dia zalimi adalah dirinya sendiri.” (lihat Ad Daa’ wa Ad Dawaa’)

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatan syirik itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya” (QS. An Nisaa’ : 48).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula” (HR. Tirmidzi dan beliau nilai derajatnya hasan)

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, niscaya dia masuk ke dalam neraka” Dan aku -Ibnu Mas’ud- berkata, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti akan masuk surga” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tunduk Kepada Syari’at Allah

Termasuk di dalam cakupan hijrah kepada Allah adalah dengan mengikuti aturan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya bagi umat manusia. Baik aturan itu menyangkut masalah ibadah/ritual, akhlak/perilaku, mu’amalah, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Sebab Islam adalah ajaran yang lengkap dan sempurna, meliputi berbagai sisi kehidupan. Dengan tunduk kepada hukum-hukum Allah akan mendatangkan hidayah, ketentraman dan keselamatan, di dunia dan di akhirat.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka” (QS. Thaha : 123). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah pantas bagi orang yang beriman lelaki atau perempuan, untuk memiliki pilihan lain dari urusan mereka pada saat Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang amat nyata” (QS. Al Ahzab : 36)

Diantara bentuk ketundukan kepada syari’at Allah adalah dengan memberikan ketaatan kepada ulama dan umara/pemerintah dalam hal-hal yang ma’ruf/kebaikan. Demikian pula wajib mengembalikan segala perselisihan kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Inilah yang disebut dengan ketundukan kepada hukum Allah.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan juga ulil amri/para pemimpin diantara kalian. Kemudian, apabila kalian berselisih dalam suatu masalah, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik dan lebih bagus hasilnya” (QS. An Nisaa’ : 59)

Penutup

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, dari penjelasan-penjelasan tadi teranglah bagi kita bahwa sesungguhnya kebahagiaan dan keselamatan yang hakiki hanya bisa diraih dengan kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu meninggalkan segala hal yang dibenci dan tidak diridhai-Nya menuju apa-apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Untuk tujuan itulah Allah Ta’ala menciptakan segenap jin dan manusia. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyat : 56). Wallahu a’lam bish shawaab.

Penulis : Ustadz Ari Wahyudi, S.Si (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Muroja’ah : Ustadz Abu Salman

 


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/hijrah-hati-dengan-menuju-allah/